Jumat, 18 Juni 2010

TUGAS SUMBER FISIS

PENDARAHAN
Yang dimaksud dengan pendarahan adalah peristiwa keluarnya darah dari pembuluh darah karena pembuluh tersebut mengalami kerusakan. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh benturan fisik, sayatan, atau pecahnya pembuluh darah yang tersumbat.

Berdasarkan letak keluarnya darah, pendarahan dibagi menjadi 2 macam, yaitu pendarahan terbuka dan pendarahan tertutup. Pada pendarahan terbuka, darah keluar dari dalam tubuh. Tekanan dan warna darah pada saat keluar tergantung dari jenis pembuluh darah yang rusak. Jika yang rusak adalah pembuluh arteri (pembuluh nadi), maka darah memancar dan berwarna merah terang. Jika yang rusak adalah pembuluh vena (pembuluh balik), maka darah mengalir dan berwarna merah tua. Jika yang rusak adalah pembuluh kapiler (pembuluh rambut), maka darah merembes seperti titik embun dan berwarna merah terang.

Pada pendarahan tertutup, darah keluar dari pembuluh darah dan mengisi daerah di sekitarnya, terutama dalam jaringan otot. Pendarahan ini dapat diidentifikasi dengan adanya memar pada korban.

Bentuk lain dari pendarahan tertutup adalah pendarahan dalam. Pada pendarahan dalam, darah yang keluar dari pembuluh darah mengisi rongga dalam tubuh, seperti rongga dalam perut. Pendarahan ini dapat diidentifikasi dari tanda-tanda pada korban, seperti:
- setelah cidera korban mengalami syok, tapi tidak ada tanda-tanda pendarahan
- tempat cidera mungkin terlihat memar yang terpola
- lubang tubuh mungkin mengeluarkan darah

PROSES PENYEMBUHAN LUKA
PENDAHULUAN

Dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4 disebutkan tujuan Pembangunan Nasional adalah tercapainya kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan masyarakat makmur dan berkeadilan sosial. Kriteria bahwa kesejahteraan umum dikatakan berhasil jika derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai. Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan nasional mengenai pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010.
Upaya pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja berangsur-angsur berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif). Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan juga menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kasus ini, penanganan yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam bidang ilmu bedah, adalah dengan metode operatif yaitu suatu bentuk operasi dengan pemasangan Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) dimana jenis internal fiksasi yang digunakan dalam kasus ini berupa plate and screw. Pada kasus ini metode operasi yang digunakan internal fixasi karena dengan metode konservatif sudah tidak mungkin dapat dilakukan, hal ini dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk menyambung dengan baik. Selain itu, penyambungan tulang kontak fragmen langsung lebih baik dari pada tanpa operasi (Appley, 1995). Alasan lain, karena proses penyambungan tulang lebih cepat sehingga pasien tidak kehilangan banyak waktu serta biaya untuk rawat inap di Rumah Sakit (John C. Adams, 1992).
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau perimpilan korteks, biasanya patahan tersebut lengkap dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya masih utuh, disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung olehtulang.
Sebanding dengan banyaknya pasien kasus fraktur di Rumah Sakit yang mendapatkan pelayanan medis kurang adekuat atau kurang optimal oleh karena keterbatasan biaya dan fasilitas, maka akan berdampak pada pemulihan dengan hasil sisa atau sequele. Secara tidak langsung hasil sisa tersebut terutama pada fraktur cruris mengalami gangguan fungsional sehingga berakibat pada produktivitas kerja yang akhirnya akan menurunkan pendapatan perkapita negara sebagai sumber dana dan sarana pembangunan nasional.
FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL DEXTRA
Pada kasus fraktur terutama post operasi fraktur cruris menimbulkan berbagai macam gangguan yaitu impairment, functional limitation dan disability. Fisioterapi sebagai salah satu tenaga medis, mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam mengatasi permasalahan akibat tindakan operasi. Adapun modalitas yang digunakan fisioterapi pada kasus fraktur cruris 1/3 distal dextra disini adalah dengan terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif (Kisner, 1996). Macam dari terapi latihan tersebut diantaranya ;
(1) breathing exercise,
(2) posisioning,
(3) static contraction,
(4) passive exercise,
(5) active exercise,
(6) latihan jalan.
Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah sekitar fraktur, mempertahankan, menambah atau memelihara luas gerak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa;
(1) static contraction yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah sehingga nyeri dapat berkurang (Kisner, 1996),
(2) latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996),
(3) latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (4) latihan ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara bertahap.
ANATOMI
FISIOLOGI
a. Sistem Tulang
Tulang adalah struktur dinamis yang secara terus-menerus diperbarui (Victor P, 2003). Kapasitas tanggungan beban suatu tulang dapat mencapai 10 sampai 20 kali lipat berat badan. Hal ini dimungkinkan oleh sifat elastis tulang yang memungkinkan tulang sedikit melengkung pada saat diberikan beban (Garrison, 1996).
Tungkai bawah terdiri dari 2 tulang yaitu tulang tibia dan tulang fibula. Tulang tibia sering disebut juga dengan tulang kering, sedangkan tulang fibula disebut juga dengan tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan mempunyai dua ujung. Tulang tibia terletak disebelah medial fibula yang terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan epiphysis distalis. Sedangkan tulang fibula terletak di sebelah lateral tibia, dan juga terdiri dari 3 bagian.
b. Sistem Sendi
Persendian adalah suatu hubungan antara dua buah tulang atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus jaringan ikat pada bagian luar dan pada bagian dalam terdapat rongga sendi dengan permukaan tulang yang dilapisi oleh tulang rawan (Fitriani Lumongga, 2004).
Pada kasus pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal dengan ORIF biasanya akan menimbulkan gangguan terutama pada sendi pergelangan kaki kanan. Ini dapat terjadi karena letak fraktur yang berdekatan dengan sendi pergelangan kaki kanan sehingga berdampak pada gerakan sendi tersebut.
Sendi pergelangan kaki terdiri dari 3 persendian yaitu sendi tibiofibularis distalis, sendi talocruralis dan sendi subtalaris. Gerakan yang dapat dilakukan sendi pergelangan kaki adalah plantar fleksi, dorsi fleksi, eversi, dan inversi (Norkin,1995). Luas gerak sendi pergelangan kaki untuk gerak plantar fleksi - dorsal fleksi S 20˚- 0˚-50˚, sedang luas gerak sendi untuk gerak eversi - inversi R 40˚- 0˚- 20˚ yang diukur pada posisi anatomis (Russe, 1975).
Dilihat dari aspek arthrokinematika, saat dorsal fleksi ankle talus akan sliding kearah posterior dan fibula akan bergerak kearah proximal.
c. Sistem Otot
Otot merupakan sistem penggerak tubuh yang bekerja secara aktif. Pada sendi pergelangan kaki otot penggerak utama gerakan dorsi fleksi adalah otot tibialis anterior. Sedangkan gerakan plantar fleksi digerakkan oleh otot gastroknemius dan otot soleus.
Pada gerakan inversi, otot penggerak yang bekerja adalah otot tibialis posterior. Dan pada gerakan eversi, otot penggerak yang bekerja adalah otot peroneus longus dan otot peroneus brevis. Dengan adanya otot-otot tersebut memungkinkan terjadinya kontraksi sehingga terjadi gerakan pada sendi atau tulang.


Patologi dan Problematika Fisioterapi
1. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan - latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Tujuan dari terapi latihan adalah untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional.
Jenis terapi latihan yang digunakan dalam kasus ini antara lain;
(1) breathing exercise,
(2) static contraction,
(3) passive exercise,
(4) active exercise,
(5) latihan transver dan ambulasi.
b. Fraktur cruris 1/3 distal dextra
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang (Appley, 1995). Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. 1/3 distal dextra adalah 1/3 bagian bawah dari tungkai kanan. Jadi, fraktur cruris 1/3 distal dextra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula bagian kanan yang terletak pada 1/3 bagian bawah dari tulang.
c. Open Reduction Internal Fixatie (ORIF0)
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992). Internal fixasi yang digunakan pada kasus ini berupa plate and screws yang merupakan sebuah lempengan besi dan berupa sekrup yang dipasang pada tulang yang patah dan berfungsi sebagai immobilisasi. Biasanya digunakan pada fraktur tulang panjang dengan tipe simple tranverse dan simple oblique fraktur.

2. Etiologi
Menurut etiologinya fraktur dibedakan menjadi 3 yaitu;
(1) fraktur yang disebabkan oleh trauma, baik langsung maupun tak langsung.
(2) fraktur yang disebabkan oleh kelelahan pada tulang.
(3) fraktur karena keadaan patologi (Appley,1995).
Pada kasus ini penulis memilih fraktur yang disebabkan karena trauma langsung yaitu karena kecelakaan lalulintas atau benturan, yang terjadi perpatahan pada 1/3 distal cruris dextra.Dalam kasus fraktur cruris dextra 1/3 distal, tindakan yang biasa dilakukan untuk reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau operasi. Ini dilakukan karena pada kasus ini memerlukan pemasangan internal fiksasi untuk mencegah pergeseran antar fragmen pada waktu proses penyambungan tulang (Apley,1995).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat berupa Intra Medullary Nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai bawah.

3. Perubahan Patologi
Operasi pada fraktur cruris 1/3 distal dextra akan dilakukan incisi pada tungkai bawah bagian lateral. Dengan operasi ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan lunak ataupun kerusakan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri. Bila pembuluh darah terpotong, maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan pembengkakan. Cairan ini akan menekan ujung saraf sensoris sehingga akan timbul nyeri dan pergerakan pada daerah tersebut menjadi terbatas.
Waktu penyembuhan fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertai. Pada fraktur yang tidak kompleks, bukti mikroskopik dari penyembuhan biasanya dapat terlihat pada tempat fraktur dalam 15 jam setelah cedera.
Tulang mempunyai kemampuan menyambung setelah terjadi patah tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 tahap yaitu:
a. Hematoma
Hematoma adalah suatu proses perdarahan dimana darah pada pembuluh darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi tulang yang rusak. Setelah 24 jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Stadium ini berlangsung 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974).
b. Proliferasi
Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast. Haematoma merupakan dasar untuk proses penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai 2 minggu (Gartland, 1974).
c. Pembentukan callus atau kalsifikasi
Pembentukan callus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah terjadi bentukan cartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrous callus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini berlangsung 2 sampai 6 minggu (Gartland,1974).
d. Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada kedua ujung tulang. Callus yang tidak diperlukan mulai diabsorbsi (Gartland, 1974). Pada tahap ini tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3 minggu sampai 6 bulan.
e. Remodeling
Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara perlahan – lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi timbul permasalahan yang berupa :
a. Nyeri
Nyeri merupakan adanya kerusakan jaringan, dimana jaringan akan mengeluarkan zat kimia seperti bradikinin, serotonin, histamine sebagai reaksi dari kerusakan jaringan, zat kimia tersebut akan merangsang nociseptik yang akan menambah nyeri daerah tersebut (Kisner, 1996).
b. Oedem
Oedem dapat timbul karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat incisi, sehingga cairan yang melewatinya tidak lancar dan terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
c. Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedem, spasme otot, kelemahan otot sehingga pasien enggan untuk bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan luas gerak sendi yang dalam jangka waktu lama akan berpengaruh pada penurunan kemampuan aktivitas fungsional terutama berjalan.
d. Potensial terjadi penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra antara lain;
(1) oedem disekitar tungkai bawah,
(2) rasa nyeri akibat adanya oedem dan luka incise post operasi,
(3) keterbatasan gerak sendi ankle,
(4) gangguan aktivitas fungsional, terutama gangguan jalan (Appley, 1995).

5. Komplikasi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra, komplikasi yang mungkin terjadi yaitu komplikasi yang berhubungan dengan setelah dilakukannya tindakan operasi, antara lain:
a. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya terjadi akibat oedem dan fibrosis pada kapsul, ligamen, dan otot disekitar sendi dan terjadi perlengketan antar jaringan lunak.
b. Komplikasi kulit
Immobilisasi tanpa alat pemulih, tekanan yang semestinya dan adanya aplikasi gips pada daerah fraktur yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya ulkus tekan (Garrison, 1996).
c. Infeksi
Infeksi biasanya terjadi karena luka incisi yang tidak steril yang dapat menimbulkan adanya nyeri.
Sedangkan untuk komplikasi karena fraktur, antara lain:
a. Shorthening
Shorthening terjadi karena pemendekan pada tulang yang diakibatkan mal union, loss of bone dan gangguan epiphysial plate pada anak – anak.
b. Mal union
Mal union merupakan penyambungan yang tidak sesuai dengan posisi yang semestinya, seperti angulasi, overlapping dan rotasi. Distribusi gaya tekan yang tidak baik menyebabkan gangguan fungsi dan timbulnya perubahan – perubahan osteoarthritis yang lebih awal pada sendi – sendi yang berdekatan. Bila ada gangguan fungsi berat tindakan rekonstruksi harus dilakukan terhadap tulang atau sendi yang mengalami mal union (Bloch, 1986).
c. Non union
Non union adalah keadaan dimana fragmen gagal untuk menyambung walaupun telah diimobilisasi. Hal ini karena pembentukan callus terganggu dan ujung – ujung fragmen tertutup oleh jaringan fibrocartilago (Bloch, 1986).
d. Delayed union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang yang terlambat karena infeksi, suplai darah tidak lancar dan adanya gerakan pada ujung fragmen. Beberapa tempat yang sering mengalami penyambungan lambat dengan sirkulasi yang kurang diantaranya os naviculare dari os carpalia, colum femoris dan spertiga bagian bawah tibia (Bloch, 1986).
6. Prognosis
Prognosis pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra tergantung pada jenis dan bentuk fraktur, bagaimana operasinya, dan peran dari fisioterapi. Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke rumah sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien baik, usia pasien relative muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan peredaran darah lancar. Penanganan yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi juga sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas fungsionalnya.
Pemberian terapi latihan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik bilamana;
(1) quo ad vitam baik jika pada kasus ini tidak mengancam jiwa pasien,
(2) quo ad sanam baik jika jenis perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi pada fraktur,
(3) quo ad fungsionam baik jika pasien dapat melakukan aktivitas fungsional, (4) quo ad cosmeticam yang disebut juga dengan proses remodeling baik jika tidak terjadi deformitas tulang.
Dalam proses rehabilitasi, peran fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah komplikasi dan melatih aktivitas fungsionalnya.
7. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi yang sering muncul pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra meliputi impairment, functional limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya oedem pada ankle dan tungkai bawah terjadi karena suatu reaksi radang atau respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2) adanya nyeri gerak pada ankle akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedem pada daerah sekitar fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi ankle karena adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur.
b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama dalam melakukan aktivitas fungsional terutama berdiri dan berjalan..
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang buruh karena pasien mengalami gangguan dalam aktivitas berjalan.
Teknologi Intervensi Fisioterapi
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Terapi latihan yang dilakukan adalah:
1. Breathing Exercise
Breathing exercise merupakan suatu tehnik latihan pernafasan dengan menarik nafas lewat hidung atau inspirasi dan mengeluarkan nafas lewat mulut atau ekspirasi. Tehnik latihan pernafasan yang digunakan dalam kasus ini adalah deep breathing exercise. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi paru pada post operasi akibat bius general. Tehnik latihan pernafasan ini menekankan pada inspirasi maksimal dan panjang lalu dihembuskan dengan perlahan sampai akhir expirasi dengan tujuan mempertahankan alveolus tetap mengembang, mobilisasi thorak, untuk meningkatkan oksigenasi dan mempertahankan volume paru.
2. Positioning
Positioning yaitu perubahan posisi anggota gerak badan yang sakit. Untuk mengurangi oedema pada tungkai, maka tungkai dielevasikan dengan cara di ganjal bantal setinggi 30° - 450. Selama pasien sadar, dosisnya adalah satu jam tungkai dielevasikan dan satu jam tungkai dikembalikan ke posisi semula.
3. Static contraction
Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot maupun pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan static contraction adalah memperlancar sirkulasi darah sehingga dapat membantu mengurangi oedem dan nyeri serta menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.
4. Passive exercise
Passive exercise merupakan suatu gerakan yang dihasilkan dari kekuatan luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadari. Kekuatan luar tersebut dapat berasal dari gravitasi, mesin, individu atau bagian tubuh lain dari individu itu sendiri (Kisner, 1996).
Gerakan ini terbagi menjadi 2 gerakan:
a. Relaxed passive exercise
Relaxed passive exercise merupakan gerakan murni yang berasal dari terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Tujuan dari gerakan ini untuk melatih otot secara pasif, sehingga diharapkan otot menjadi rileks dan dapat mengurangi nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak dan elastisitas otot (Kisner, 1996).

b. Force passive exercise
Force passive exercise gerakan berasal dari terapis atau luar dimana pada akhir gerakan diberikan penekanan. Tujuan gerakan ini untuk mencegah terjadinya kontraktur dan menambah luas gerak sendi serta untuk mencegah timbulnya perlengketan jaringan (Kisner, 1996).
5. Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan karena adanya kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi (Basmajian, 1978).
Tujuan active exercise;
1) memelihara dan meningkatkan kekuatan otot,
(2) mengurangi bengkak disekitar fraktur,
(3) mengembalikan koordinasi dan ketrampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
6. Latihan jalan
Latihan jalan merupakan aspek terpenting pada penderita sehingga mereka dapat kembali melakukan aktifitasnya seperti semula. Latihan ini dilakuakan secara bertahap. Dimulai dari aktivitas di tempat tidur seperti bergeser (bridging), bangun, duduk dengan kaki terjuntai ke bawah (high sitting) kemudian latihan berdiri, ambulasi berupa jalan dengan menggunakan walker kemudian ditingkatkan dengan menggunakan kruk (tergantung kondisi umum pasien). Latihan berjalan secara Non Weight Bearing (NWB) dengan menggunakan metode three point gait pada hari ke 3 atau sesuai kemampuan pasien kemudian ditingkatkan dengan cara Partial Weight Bearing (PWB) jika pada pasien tersebut sudah terjadi pembentukan callus atau kurang lebih 3 minggu (Gartland, 1974). Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan dan kemudian ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan, lalu ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing. Tujuan dari latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan bantuan alat.
7. Edukasi
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien yaitu home program yang dapat
dilakukan di bangsal maupun di rumah, seperti (1) melakukan aktivitas sendiri atau dengan bantuan orang lain untuk berlatih seperti yang telah diajarkan, (2) untuk mengurangi bengkak pasien dianjurkan mengganjal tungkai yang sakit dengan guling saat pasien tidur terlentang, (3) kurang lebih selama 2 minggu atau lebih setelah post operasi pasien dianjurkan untuk tidak menumpu dengan kaki yang sakit sampai terjadi penyambungan callus.
Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri dari;
(1) tekanan darah,
(2) denyut nadi,
(3) pernapasan,
(4) temperatur.
Data tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi, tacikardi, obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati keadaan pasien, mengenai keadaan umum, sikap tubuh, dan warna kulit.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan dan suhu. 
d. Kemampuan aktivitas fungsional
Terapis melihat apakah pasien sudah bisa bergeser ke kanan atau ke kiri, apakah pasien sudah bisa duduk tegak, mampu miring sendiri, apakah sudah dapat berdiri dengan atau tanpa bantuan dari orang lain. Perlu ditanyakan juga apakah pasien dalam buang air besar mengalami gangguan dan apakah pasien sudah bisa berjalan.
Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak pasif
Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien dimana pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Tujuan dari pemeriksaan gerak pasif untuk mendapatkan data informasi tentang luas gerak sendi pasif ankle, stabilitas sendi, rasa nyeri dan end feel.
b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa secara aktif, terapis melihat dan memberikan aba-aba. Tujuan tes ini adalah untuk mendapatkan data informasi tentang bagaimana LGS aktif ankle, rasa nyeri dan nilai kekuatan otot.
c. Gerak isometric melawan tahanan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya nyeri dan adanya penurunan kekuatan otot terutama sendi ankle. Dilakukan dengan cara pasien disuruh mengkontraksikan otot dan mencoba untuk melakukan gerakan tapi diberi panahanan oleh terapis sehingga tidak terjadi gerakan dan penambahan luas gerak sendi.
4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), yaitu pengukuran derajat nyeri dengan sepuluh skala penilaian yaitu dengan menunjukkan satu titik pada sebuah garis pada skala nyeri (0 - 100) dengan besarannya dalam satuan milimeter, panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri (Sri Surini, 2002). Terapis menjelaskan terlebih dahulu kepada pasien tentang penilaian diatas, kemudian pasien diminta untuk menunjuk salah satu titik dalam garis tersebut yang dapat mewakili rasa nyeri yang dirasakan pada saat itu. Penilaian dilakukan pada saat pasien diam, digerakkan secara pasif dan aktif oleh terapis.
b. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan luas gerak sendi dengan menggunakan goniometer. Pada ankle meliputi gerakan dorsi fleksi, plantar fleksi, eversi, dan inversi.
Posisi netral untuk gerakan dorsi fleksi adalah sesuai dengan posisi anatomis kaki. Gerakan pada ankle terjadi pada bidang sagital dan axis gerakannya pada bidang frontal yaitu pada malleolus lateralis. Dalam melakukan pemeriksaan as goniometer diletakkan 15 cm dari malleolus lateralis. Tangkai statis sejajar dengan axis longitudinal tulang tibia sedangkan tangkai dinamis sejajar dengan axis longitudinal tulang metatarsal V (Russe, 1975).
c. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh sangat penting dalam pemeriksaan ada tidaknya pembengkakan. Alat ukur yang digunakan adalah midline. Pada prinsipnya pengukuran lingkar anggota gerak dilakukan dengan menggunakan patokan yaitu tuberositas tibiae sampai malleolus lateralis. Selain itu dilakukan pengukuran panjang tungkai dari SIAS sampai malleolus medialis. Pengukuran lingkar segmen yang mengalami oedem perlu dilakukan, kemudian dibandingkan antara tungkai yang sakit dengan tungkai yang sehat.
d. Pemeriksaan aktivitas fungsional
Untuk menilai perkembangan aktivitas fungsional dari pasien pada saat sebelum dan sesudah pemberian terapi latihan, terapis dapat melihat perkembangan pasien mulai dari jongkok, berdiri dan berjalan. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran aktivitas fungsional yaitu menggunakan skala Jette. Aktivits yang dites meliputi berdiri dari posisi duduk, berjalan 15 m dan naik turun tangga 3 trap. Keterangan penilaian (1) nyeri, berkaitan dengan derajat nyeri saat melakukan aktivitas, (2) kesulitan, berkaitan dengan deajat kesulitan untuk malaukan aktivitas, (3) ketergantungan, berkaitan dengan derajat ketergantungan untuk melakukan aktivitas. Dalam menilai masing – masing dimensi yaitu dengan menggunakan pilihan ganda yang masing – masing dimensi dibagi menjadi 4 skala untuk dimensi nyeri dan 5 skala untuk dimensi kesulita dan ketergantungan ( Jette AM, 1980 dikutip oleh Slamet, 2000 ).
TABEL I
SKALA JETTE
Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Berjalan 15 meter Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Naik turun tangga Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4:nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
(Slamet Parjoto, 2000)
5. Diagnosa Fisioterapi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dimungkinkan terjadi gangguan impairment yaitu;
(1) oedem pada tungkai bawah dan ankle,
(2) nyeri karena oedem dan luka incisi,
(3) keterbatasan LGS ankle.
Sedangkan gangguan yang terjadi pada functional limitation yaitu penurunan ambulasi dan perawatan diri yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas fungsional tungkai bawah. Pada disability gangguan yang terjadi yaitu adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar yang berupa berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.

KONTRAKTUR
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses penyembuhan luka.
Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri. (1,2,3,4,5,6)
Definisi kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan kulit. (1,2,3,7)
Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari. (2,8)
B. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka sangat mempengaruhi terjadinya sikatrik dan jaringan yang menyebabkan kontraktur, untuk itu perlu diingat kembali fase-fase penyembuhan luka. (6)
1. Fase Inflamasi / fase substrat / fase eksudasi / lag phase
Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini bertujuan menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, benda¬benda asing dan jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama fase ini berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi dimulai.
Fase ini mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen vaskuler
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubule berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan udem.
b. Komponen hemostatik
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
c. Komponen selluler
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis.Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut memakan dan menghancurkan kotoran luka dan bakteri.
2. Fase proliferasi / fase fibroplasi / fase jaringan ikat
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen epitelisasi
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
b. Komponen kontraksi luka
Kontraksi luka disebut juga pertumbuhan intussuseptif, tujuan utama adalah penutupan luka atau memperkecil permukaan luka. Proses terjadinya kontraksi luka ini berhubungan erat dengan proses fibroplastik. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan luka. Serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat kontraktil miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.
c. Reparasi jaringan ikat
Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi.
3. Fase remodeling/fase resorpsi/fase maturasi/fase diferensiasi/penyudahan
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
C. Klasifikasi Kontraktur
Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan, maka kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi : (2,3,4,5,6)
1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.
2. Kontraktur Tendogen atau Myogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi, misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
3. Kontraktur Arthrogen .
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan nyeri.
D. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)
E. Pencegahan Kontraktur
Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan. Program pencegahan kontraktur meliputi : (1,2,3,6,9,10)
1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
2. Skin graft atau Skin flap
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
3. Fisioterapi
Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi ;
a. Proper positioning (posisi penderita)
b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)
c. Stretching
d. Splinting / bracing
e. Mobilisasi / ambulasi awal
F. Penanganan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. (1,2,6,8,10) Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan operatif :
1. Konservatif
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini lebih mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita, meliputi :
a. Proper positioning
Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu selama penderita dirawat di tempat tidur. (3,4) Posisi yang nyaman merupakan posisi kontraktur. Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan mencegah kontraktur.(1,24,10)
Proper positioning pada penderita luka bakar adalah sebagai berikut :
- Leher : ekstensi / hiperekstensi
- bahu : abduksi, rolasi eksterna
- Antebrakii : supinasi
- Trunkus : alignment yang lurus
- Lutut : lurus, jlarak antara lutut kanan dan kiri 20”
- Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna
- Pergelangan kaki : dorsofleksi

Proper positioning untuk penderita luka bakar
a. Exercise
Tujuan tujuan exercise untuk mengurangi udem, memelihara lingkup gerak sendi dan mencegah kontraktur. Exercise yang teratur dan terus-menerus pada seluruh persendian baik yang terkena luka bakar maupun yang tidak terkena, merupakan tindakan untuk mencegah kontraktur.(2,8,10) Adapun macam-macam exercise adalah :
- Free active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri.
- Isometric exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri dengan kontraksi otot tanpa gerakan sendi.
- Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri tetapi mendapat bantuan tenaga medis atau alat mekanik atau anggota gerak penderita yang sehat.
- Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita dengan mela wan tahanan yang diberikan oleh tenaga medis atau alat mekanik.
- Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap penderita.
b. Stretching
Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah stretching yang paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching panggul depan dan lutut bagian belakang. (2,10)
c. Splinting / bracing
Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk mempertahankan posisi yang baik selama penderita tidur atau melawan kontraksi jaringan terutama penderita yang mengalami kesakitan dan kebingungan.
d. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama 10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi besar.
2. Operatif
Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan kontraktur dan terapi konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan, tindakan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara : (11)
a. Z - plasty atau S - plasty
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga memerlukan beberapa Z-plasty.
b. Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar. Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut, selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih split thickness graft untuk l potongan, karena full thickness graft sulit. Jahitan harus berhati- hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga post operasi.
c. Flap
Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan transplantasi flap untuk menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian flap adalah apabila gagal dengan pemakaian cara graft bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya. Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition, Churchill Livingstone.

Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.

Basmaijan, John, 1978; Theraupetic Exercise; Third edition, The William and Wilknis Baltimore, London.

Daniels and Wortinghams, 1995; Muscle Testing; Sixth edition, W. B Saunders Company, USA.

Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO Dr. Soeharso Surakarta.

Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.

Gartland, John, 1974; Fundamental of Orthopedics; Second edition, W. B. Sanders Company, Philadelpia.

Kapandji, I. A, 1987; The Physiologi of the Joint; 2nd edition, Churchill Livingstone, Edinburg, London, and New York
1. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 188-189.
2. Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA. Rehabilitation medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia, Lippincott Co. 1993-, 681-689.
3. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
4. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation. Baltimore; Williams and Wilkins 1984; 306-307.
5. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co. 1995; 261-262, 267-270.
6. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar bedah, 1997, 72-73, 1131, 1219-1221.
7. Dorland’s. Illustrated medical dictionary. 25th ed. WB Saunders 1980; 355-815.
8. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusen’s Handbook of physical medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders Co. 1982; 398-401.
9. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In Orthopaedic nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English Language Book Society. 1986; 34-42.
10. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA. Rehabilitation medicine; principles and practices. Seconded. Philadelphia, Lippincott Co. 1993; 535.
11. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977; 1596 -1635.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar